Polemik penambangan 'Illegal' yang berbuntut maut beberapa waktu lalu nampaknya perlu mendapatkan perhatian khusus. Pasalnya,dampak...
Polemik penambangan 'Illegal' yang berbuntut maut beberapa waktu lalu nampaknya perlu mendapatkan perhatian khusus. Pasalnya,dampak yang ditimbulkan akibat peristiwa tersebut berdimensi yang luas. Baik secara sektoral maupun lintas sektoral.
Sektoral berarti berada pada satu titik sudut pandang ruang lingkup kajian dan kelembagaan. Sedangkan lintas sektoral dalam hal ini adalah melibatkan beberapa aspek dan dari berbagai sudut pandang pengkajian. Meretas persoalan ini bak meretas benang kusut, yakni masih memerlukan kecermatan dan ketepatan untuk mengambil kebijakan.Sebab salah pemberian perlakuan justru akan berdampak negatif yang panjang. Artinya, persoalan ini bukan tidak mungkin tidak bisa diselesaikan namun sebaliknya bahwa persoalan ini tetap bisa diselesaikan meskipun dengan beragam keniscayaan.
Tulisan singkat ini akan mengurai beberapa simpul benang kusut yang melilit terkait pertambangan tersebut. Sebenarnya secara garis besar kasus ini bisa dirumuskan ke dalam dua preposisi. Preposisi pertama adalah terkait praktek pertambangan dan preposisi kedua adalah pertambangan yang dilakukan di dalam kawasan hutan. Antara preposisi pertama dan kedua saling berkorelasi sehingga pengkajiannya pun tidak bisa dipisahkan supaya tidak terjadi disparitas pengkajian.
Setidaknya ada beberapa aspek yang patut diperhatikan untuk mencari jalan keluar persoalan ini. Aspek tersebut di antaranya adalah aspek yuridis, aspek ekologis dan aspek ekonomis. Aspek yuridis berkaitan dengan regulasi di bidang kehutanan, aspek ekologis berkaitan dengan kelestarian lingkungan dan aspek ekonomis berkaitan dengan motivasi pertambangan dilakukan. Bahkan dimensi ekonomi yang melatar belakangi penambangan tersebut menjadi salah satu faktor dominan yang menjadikan persoalan ini sebagai persoalan yang sensitif.Oleh karenanya perlu ada terobosan solutif tanpa menafikkan kondisi faktual dan aspek-aspek yang lain.
Dalam pertambangan, yang terpenting adalah kedudukan obyek tambang yang bersangkutan. Termasuk jenis dan letak tambang itu sendiri. Sedangkan dalam kasus, obyek tambang terletak di kawasan hutan. Maka seyogianya landasan kajian yang dilakukan juga tidak meluas di luar bidang kehutanan. Sebab pandangan di bidang kehutanan juga berimplikasi terhadap beberapa aspek-aspek yang lain.Khususnya yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan.Inilah yang melatar belakangi lahirnya UU No 41 Tahun 1999 jo UU No 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) sebagai payung hukum di bidang kehutanan.
Telaah berdasarkan UU Kehutanan dan beberapa regulasi terkait merupakan langkah awal untuk menjustifikasi legal/tidak nya pertambangan ini. Sebab legalitas berkaitan dengan keabsahan dan keabsahan berkaitan dengan pengaturan (hukumnya). UU Kehutanan mengandung prinsip bahwa kawasan hutan sebagai penyangga ekologis perlu dipertahankan.Karenanya fungsi pokok hutan diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu fungsi hutan produktif,hutan lindung dan hutan konservasi. Sedangkan pengelolaan kehutanan diserahkan kepada Pejabat yang berwenang. Yaitu institusi yang diberikan kewenangan atributif untuk mengelola hutan.
Fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan dikukuhkan oleh UU Kehutanan antara lain Pasal 17 ayat (2) jo Pasal 50 ayat (3), Pasal 38 ayat (2) dan Pasal 68. Pengaturan tersebut pada prinsipnya tidak memperbolehkan adanya upaya alih fungsi hutan (termasuk pertambangan).Namun ternyata pengaturan ini bersifat limitatif sebab dlm Pasal 38 ayat (3) Disebutkan bahwa pertambangan di kawasan hutan produksi diperkenankan bila telah disetujui oleh menteri. Persetujuan itupun juga harus dipertimbangkan berdasarkan luas, jangka waktu dan yang terpenting adalah kelestarian lingkungannya. Inilah yang menghubungkan pada argumentasi awal bahwa faktor lintas sektoral juga berkaitan.
Berdasarkan hal itu maka secara a contrario bisa dipahami bahwa pertambangan di kawasan hutan produksi yang tdk ada persetujuan teknis dari Menteri kedudukannya adalah tidak sah (Illegal). Dan akibat hukum terkait pertambangan tersebut juga tidak dibenarkan.Misalnya ditarik retribusi hanya utk memberikan kesempatan utk menambang. Sebaliknya,pungutan (retribusi) tanpa ada payung hukum yang sah dikategorikan sebagai pungutan liar.Dan bila ini terdapat unsur kesengajaan dr pelaku supaya mempermudah tindakannya yang illegal tersebut, maka bisa dikategorikan sebagai gratifikasi.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah kemudian dengan melegalkan tambang tersebut merupakan solusi yang efektif?Jawaban atas pertanyaan ini perlu dikaitkan dengan 3 aspek pada pembahasan sebelumnya. Pertama,dari sisi yuridis,legalisasi tambang memang dimungkinkan.Baik menurut UU Kehutanan maupun dalam PP 72 Tahun 2010 dengan catatan harus ada persetujuan teknis dari Menteri terkait.Kedua dari aspek ekologis,perlu dipahami bahwa dampak pertambangan di Kabupaten Tuban pada kawasan hutan KPH Tuban membentuk lubang yang menjalar di bawah tanah.Sedangkan Teknologi yang digunakan adalah manual dan tradisional.Padahal,setiap tindakan penambangan wajib dilakukan reklamasi sebagaimana diwajibkan berdasarkan Pasal 45 ayat (2) UU Kehutanan. Sementara Kondisi faktual di lapangan sangat tidak memungkinkan ada reklamasi. Aspek yang ketiga adalah dari aspek ekonomis. Bahwa tambang tersebut sedianya juga menjadi ajang warga untuk mendapatkan uang. Dari penjualan hasil tambang (kumbung) warga sedikit bisa bernapas lega menutup kebutuhan hidupnya (meskipun sembunyi-sembunyi). Pertanyaannya apakah praktik demikian bisa bertahan lama? Sedangkan jenis tambangnya adalah tambang yang tidak dapat diperbaharui.
Urusan Tambang Urusan Perut
Dimensi ekonomis dari praktek pertambangan Illegal di wilayah KPH Tuban itu pada intinya diawali karena himpitan ekonomi masyarakat untuk mencukupi kebutuhan pokoknya. Dalam prakteknya penambangan kerap dilaksanakan pada musim kemarau. Yakni saat masyarakat yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani mengalami gagal panen.desakan kebutuhan itulah yang melatar belakangi tindakan di luar koridor hukum untuk mencukupi kebutuhan hidup masyarakat.
Sekali lagi legalisasi tambang perlu dikaji berbagai aspek yang menyertainya. Termasuk efisiensi kebijakan legalisasi tambang ini. Seperti yang telah Penulis uraikan pada pembahasan sebelumnya. Persoalan ini menjadi sensitif karena berhubungan langsung dengan masyarakat yang notabene melakukan perbuatan penambangan. Masyarakat tentu tidak mengkaji jauh sah atau tidaknya penambangan yang dilakukan sampai dengan akibat hukumnya. Oleh karena itu perlu ada pihak yang berwenang secara persuasif untuk menyadarkan, khususnya terkait dengan kelestarian lingkungan, mengingat lokasi tambang berada di daerah resapan air.
Akan lebih elegan manakala pemangku kebijakan memberikan alternatif pencaharian sehingga mereka tidak tergantung hidupnya dari hasil hutan yang nyata-nayata illegal. Namun bukan lantas dengan melegalkan tambang tersebut. Bagaimanapun juga lambat laun tambang akan berhenti dengan sendirinya. Apalagi harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena nyata-nyata melanggar hukum.
Pendekatan persuasif dan terobosan pendapatan lain bisa menjadi solusi jitu mengatasi masalah perut dan sekaligus mengatasi problem kerusakan lingkungan yang potensial menjadi besar. Setidaknya pemerintah daerah juga perlu mempertimbangkan hal-hal teknis manakala legalisasi tambang dilakukan. Termasuk proses penggantian lahan yang telah nyata-nyata dikelola oleh Perum Perhutani itu. Sehingga jatah hutan produksi tidak berkurang. Namun yang terpenting adalah kepentingan jangka panjang atas kelestarian lingkungan Tuban ke depan. Semoga menjadi perhatian.
Sektoral berarti berada pada satu titik sudut pandang ruang lingkup kajian dan kelembagaan. Sedangkan lintas sektoral dalam hal ini adalah melibatkan beberapa aspek dan dari berbagai sudut pandang pengkajian. Meretas persoalan ini bak meretas benang kusut, yakni masih memerlukan kecermatan dan ketepatan untuk mengambil kebijakan.Sebab salah pemberian perlakuan justru akan berdampak negatif yang panjang. Artinya, persoalan ini bukan tidak mungkin tidak bisa diselesaikan namun sebaliknya bahwa persoalan ini tetap bisa diselesaikan meskipun dengan beragam keniscayaan.
Tulisan singkat ini akan mengurai beberapa simpul benang kusut yang melilit terkait pertambangan tersebut. Sebenarnya secara garis besar kasus ini bisa dirumuskan ke dalam dua preposisi. Preposisi pertama adalah terkait praktek pertambangan dan preposisi kedua adalah pertambangan yang dilakukan di dalam kawasan hutan. Antara preposisi pertama dan kedua saling berkorelasi sehingga pengkajiannya pun tidak bisa dipisahkan supaya tidak terjadi disparitas pengkajian.
Setidaknya ada beberapa aspek yang patut diperhatikan untuk mencari jalan keluar persoalan ini. Aspek tersebut di antaranya adalah aspek yuridis, aspek ekologis dan aspek ekonomis. Aspek yuridis berkaitan dengan regulasi di bidang kehutanan, aspek ekologis berkaitan dengan kelestarian lingkungan dan aspek ekonomis berkaitan dengan motivasi pertambangan dilakukan. Bahkan dimensi ekonomi yang melatar belakangi penambangan tersebut menjadi salah satu faktor dominan yang menjadikan persoalan ini sebagai persoalan yang sensitif.Oleh karenanya perlu ada terobosan solutif tanpa menafikkan kondisi faktual dan aspek-aspek yang lain.
Dalam pertambangan, yang terpenting adalah kedudukan obyek tambang yang bersangkutan. Termasuk jenis dan letak tambang itu sendiri. Sedangkan dalam kasus, obyek tambang terletak di kawasan hutan. Maka seyogianya landasan kajian yang dilakukan juga tidak meluas di luar bidang kehutanan. Sebab pandangan di bidang kehutanan juga berimplikasi terhadap beberapa aspek-aspek yang lain.Khususnya yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan.Inilah yang melatar belakangi lahirnya UU No 41 Tahun 1999 jo UU No 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) sebagai payung hukum di bidang kehutanan.
Telaah berdasarkan UU Kehutanan dan beberapa regulasi terkait merupakan langkah awal untuk menjustifikasi legal/tidak nya pertambangan ini. Sebab legalitas berkaitan dengan keabsahan dan keabsahan berkaitan dengan pengaturan (hukumnya). UU Kehutanan mengandung prinsip bahwa kawasan hutan sebagai penyangga ekologis perlu dipertahankan.Karenanya fungsi pokok hutan diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu fungsi hutan produktif,hutan lindung dan hutan konservasi. Sedangkan pengelolaan kehutanan diserahkan kepada Pejabat yang berwenang. Yaitu institusi yang diberikan kewenangan atributif untuk mengelola hutan.
Fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan dikukuhkan oleh UU Kehutanan antara lain Pasal 17 ayat (2) jo Pasal 50 ayat (3), Pasal 38 ayat (2) dan Pasal 68. Pengaturan tersebut pada prinsipnya tidak memperbolehkan adanya upaya alih fungsi hutan (termasuk pertambangan).Namun ternyata pengaturan ini bersifat limitatif sebab dlm Pasal 38 ayat (3) Disebutkan bahwa pertambangan di kawasan hutan produksi diperkenankan bila telah disetujui oleh menteri. Persetujuan itupun juga harus dipertimbangkan berdasarkan luas, jangka waktu dan yang terpenting adalah kelestarian lingkungannya. Inilah yang menghubungkan pada argumentasi awal bahwa faktor lintas sektoral juga berkaitan.
Berdasarkan hal itu maka secara a contrario bisa dipahami bahwa pertambangan di kawasan hutan produksi yang tdk ada persetujuan teknis dari Menteri kedudukannya adalah tidak sah (Illegal). Dan akibat hukum terkait pertambangan tersebut juga tidak dibenarkan.Misalnya ditarik retribusi hanya utk memberikan kesempatan utk menambang. Sebaliknya,pungutan (retribusi) tanpa ada payung hukum yang sah dikategorikan sebagai pungutan liar.Dan bila ini terdapat unsur kesengajaan dr pelaku supaya mempermudah tindakannya yang illegal tersebut, maka bisa dikategorikan sebagai gratifikasi.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah kemudian dengan melegalkan tambang tersebut merupakan solusi yang efektif?Jawaban atas pertanyaan ini perlu dikaitkan dengan 3 aspek pada pembahasan sebelumnya. Pertama,dari sisi yuridis,legalisasi tambang memang dimungkinkan.Baik menurut UU Kehutanan maupun dalam PP 72 Tahun 2010 dengan catatan harus ada persetujuan teknis dari Menteri terkait.Kedua dari aspek ekologis,perlu dipahami bahwa dampak pertambangan di Kabupaten Tuban pada kawasan hutan KPH Tuban membentuk lubang yang menjalar di bawah tanah.Sedangkan Teknologi yang digunakan adalah manual dan tradisional.Padahal,setiap tindakan penambangan wajib dilakukan reklamasi sebagaimana diwajibkan berdasarkan Pasal 45 ayat (2) UU Kehutanan. Sementara Kondisi faktual di lapangan sangat tidak memungkinkan ada reklamasi. Aspek yang ketiga adalah dari aspek ekonomis. Bahwa tambang tersebut sedianya juga menjadi ajang warga untuk mendapatkan uang. Dari penjualan hasil tambang (kumbung) warga sedikit bisa bernapas lega menutup kebutuhan hidupnya (meskipun sembunyi-sembunyi). Pertanyaannya apakah praktik demikian bisa bertahan lama? Sedangkan jenis tambangnya adalah tambang yang tidak dapat diperbaharui.
Urusan Tambang Urusan Perut
Dimensi ekonomis dari praktek pertambangan Illegal di wilayah KPH Tuban itu pada intinya diawali karena himpitan ekonomi masyarakat untuk mencukupi kebutuhan pokoknya. Dalam prakteknya penambangan kerap dilaksanakan pada musim kemarau. Yakni saat masyarakat yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani mengalami gagal panen.desakan kebutuhan itulah yang melatar belakangi tindakan di luar koridor hukum untuk mencukupi kebutuhan hidup masyarakat.
Sekali lagi legalisasi tambang perlu dikaji berbagai aspek yang menyertainya. Termasuk efisiensi kebijakan legalisasi tambang ini. Seperti yang telah Penulis uraikan pada pembahasan sebelumnya. Persoalan ini menjadi sensitif karena berhubungan langsung dengan masyarakat yang notabene melakukan perbuatan penambangan. Masyarakat tentu tidak mengkaji jauh sah atau tidaknya penambangan yang dilakukan sampai dengan akibat hukumnya. Oleh karena itu perlu ada pihak yang berwenang secara persuasif untuk menyadarkan, khususnya terkait dengan kelestarian lingkungan, mengingat lokasi tambang berada di daerah resapan air.
Akan lebih elegan manakala pemangku kebijakan memberikan alternatif pencaharian sehingga mereka tidak tergantung hidupnya dari hasil hutan yang nyata-nayata illegal. Namun bukan lantas dengan melegalkan tambang tersebut. Bagaimanapun juga lambat laun tambang akan berhenti dengan sendirinya. Apalagi harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena nyata-nyata melanggar hukum.
Pendekatan persuasif dan terobosan pendapatan lain bisa menjadi solusi jitu mengatasi masalah perut dan sekaligus mengatasi problem kerusakan lingkungan yang potensial menjadi besar. Setidaknya pemerintah daerah juga perlu mempertimbangkan hal-hal teknis manakala legalisasi tambang dilakukan. Termasuk proses penggantian lahan yang telah nyata-nyata dikelola oleh Perum Perhutani itu. Sehingga jatah hutan produksi tidak berkurang. Namun yang terpenting adalah kepentingan jangka panjang atas kelestarian lingkungan Tuban ke depan. Semoga menjadi perhatian.
COMMENTS