K orupsi merupakan tindak pidana extra ordinary yang mendapatkan perhatian serius. Bagaimana tidak, dampak tindak pidana korupsi sangat di...
Korupsi merupakan tindak pidana extra ordinary yang mendapatkan perhatian serius. Bagaimana tidak, dampak tindak pidana korupsi sangat dirasakan oleh masyarakat. Kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi berimplikasi pada terganggunya proses pembangunan oleh Negara. Sehingga teramat wajar jika bangsa Indonesia bersepakat untuk memberantas korupsi. Menjadi aneh manakala justru ada sekelompok masyarakat yang ingin membela diri dengan berbagai alasan pembenaran sehingga melakukan upaya baik hukum maupun di luar hukum untuk menghambat upaya mengungkap tindak pidana korupsi.
Pasca diundangkannya UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), sedikit demi sedikit pelaku korupsi di negeri ini mulai diungkap dan kerugian keuangan negara dapat dipulihkan (meskipun belum maksimal). Salah satu faktor yang menyebabkan belum maksimalnya proses pemberantasan korupsi di antaranya disebabkan sangat rapihnya pelaku korupsi (koruptor) dalam menjalankan aksinya. Korupsi seringkali dilakukan secara sindikasi, terstruktur, sistematis dan massive. Sehingga tidak setiap orang mampu menembus batas-batas itu. Sangatlah wajar bilamana negara memberikan penghargaan kepada siapa pun yang mampu mengungkap (melaporkan) dugaan tindak pidana korupsi.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat yang melaporkan dugaan adanya tindak pidana korupsi sudah selayaknya didukung oleh berbagai pihak. Betapa tidak, upaya yang dilakukan tersebut sebagai bentuk kepedulian terhadap bahaya laten korupsi dan pembangunan nasional. Menjadi aneh manakala niatan yang baik tersebut justru hendak dilakukan upaya-upaya penggembosan baik melalui jalur hukum maupun non hukum. Pihak-pihak yang demikian layak mendapatkan kecaman karena tidak pro aktif dalam mengungkap dugaan tindak pidana korupsi.
Negara Indonesia merupakan negara hukum (rechtstaat) yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan menyamakan kedudukan setiap warga negara di muka hukum (equality before the law).Hukum tidak memandang status sosial, kedudukan maupun jabatan seseorang. Manakala terjerat kasus hukum, maka baginya diberlakukan sama tanpa pandang bulu. Lantas bagaimanakah kedudukan laporan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi?
Sebenarnya, secara yuridis, tindak pidana korupsi bukan merupakan tindak pidana aduan (delik aduan). Sehingga dalam proses penanganan perkara pidana korupsi tidak menunggu ada atau tidak adanya laporan. Bahkan menurut ketentuan Pasal 108 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP justru diwajibkan bagi setiap orang yang mengetahui adanya tindak pidana melaporkan kepada aparat penegak hukum.
Pelapor Tindak Pidana Korupsi
Dalam rangka memberantas tindak pidana korupsi, setiap orang berhak melaporkan dugaan adanya tindak pidana korupsi. Hal ini sebagai wujud peran serta masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UU Tipikor. Frasa setiap orang memberikan makna orang bisa berwujud orang perorang (natuurlijk persoon) maupun badan hukum (rechtpersoon).
Sangat ironis manakala diskursus mengenai kedudukan pelapor dijadikan bahan pembahasan untuk mencari alasan pembenar. Bahkan ada pihak-pihak tertentu yang berupaya untuk mengorek kelemahan administratif. Padahal apa yang dianggapnya benar tersebut tidaklah benar menurut hukum. Sebab secara faktual, Pelapor bisa saja perorangan. Atau bahkan tanpa pelapor sekalipun, aparat penegak hukum dapat melakukan serangkaian upaya penegakan hukum apabila memang diduga telah terjadi tindak pidana korupsi.
Pengertian Pelapor tindak pidana korupsi terdapat pada penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Tipikor yang menyatakan bahwa
Yang dimaksud dengan “pelapor” dalam ketentuan ini adalah orang yang memberi informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Ketentuan Pasal 1 angka 24 KUHAP menyatakan
Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
Dalam ketentuan tersebut, jelas bahwa ketentuan dalam UU Tipikor lebih luas pengaturannya mengenai pelapor. Pemberian informasi kepada aparat penegak hukum pun sudah dianggap sebagai laporan. Jadi nampak bahwa UU Tipikor mengakomodir kebebasan setiap orang untuk menyampaikan laporan kepada aparat penegak hukum.
Selain ketentuan tersebut di atas, pengertian Pelapor juga disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam Pasal tersebut dinyatakan
Pelapor adalah orang yang memberikan laporan, informasi, atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana yang akan, sedang, atau telah terjadi.
Pengertian Pelapor dalam Pasal 1 angka 4 UU Nomor 31 Tahun 2014 tersebut selaras dengan ketentuan Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Tipikor. Yang perlu digaris bawahi dalam ketentuan-ketentuan tersebut di atas adalah kedudukan Pelapor merupakan "orang". Orang secara yuridis sebagaimana uraian sebelumnya bisa berupa orang perorang maupun badan hukum. Artinya, tidak ada syarat khusus bagi Pelapor dugaan tindak pidana dalam hal ini tindak pidana korupsi harus merupakan organ tertentu maupun badan tertentu. Sebab ketentuannya telah jelas, tidak pun badan maupun organ tertentu, orang perorang pun berhak melaporkan dugaan tindak pidana korupsi.
Sebaliknya, bilamana ada oknum tertentu yang berupaya mencari celah tentang bentuk hukum pelapor merupakan murni upaya-upaya penggembosan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Karena secara hukum pun tidak ada ketentuan khusus mengenai Pelapor. Oknum yang demikian sepatutnya dipertanyakan kapasitas dan kredibilatasnya sebagai insan yang intens dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Perlindungan Hukum Bagi Pelapor
Sebagaimana diketahui bahwa UU Tipikor memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat berperan serta untuk membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan terhadap anggota masyarakat yang berperan serta tersebut diberikan perlindungan hukum dan penghargaan.
Perlindungan hukum dalam hal ini dimaksudkan dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana. Sehingga perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.
Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.
Penjelasan Umum UU Nomor 31 Tahun 2014 menyatakan bahwa selain Saksi dan Korban, ada pihak lain yang juga memiliki kontribusi besar untuk mengungkap tindak pidana tertentu, yaitu Saksi Pelaku (justice collaborator), Pelapor (whistle-blower), dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana, sehingga terhadap mereka perlu diberikan Perlindungan. Tindak pidana tertentu tersebut di atas yakni tindak pidana pelanggaraan hak asasi manusia yang berat, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika, tindak pidana psikotropika, tindak pidana seksual terhadap anak, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi Saksi dan/atau Korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.
Bentuk perlindungan dan jaminan hukum bagi Pelapor diatur dalam Pasal 10 UU Nomor 31 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa
Pasal 10
- Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.
- Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pengaturan tersebut jelas bahwa Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum. Laporan dugaan tindak pidana korupsi tidak bisa dikatakan dilakukan tanpa adanya i'tikad baik. Sebab dalam proses pelaporannya tentu telah melampaui kajian yang serius. Adapun terbukti dan/atau tidak terbukti laporan bukan merupakan wewenang Pelapor melainkan aparat penegak hukum yang berwenang.
Teramat lucu jika ada pihak-pihak tertentu yang mencoba melaporkan balik pelapor tindak pidana korupsi. Sudah selayaknya ketentuan sebagaimana tersebut dipahami secara konprehensif. Sebab ketika UU diundangkan maka berlaku asas setiap orang dianggap tahu hukum (presumption juris et de jure).
Demikian tulisan singkat ini semoga bermanfaat dan memberikan kesadaran untuk taat hukum secara baik dan benar. Bagi pihak-pihak yang merasa terkait dengan laporan, sebaiknya mengikuti proses hukum yang benar. Bila tidak merasa bersalah kan bisa dibuktikan di muka persidangan. Kecuali jika terlebih dahulu merasa bersalah sehingga mencoba mencari-cari masalah baru lagi. Termasuk tercemar dan/atau tidak tercemarnya nama seseorang ya menunggu proses hukum yang berjalan. Toh, setiap laporan sifatnya adalah dugaan bukan bentuk penghakiman. Artinya, laporan selalu mengedepankan asas praduga tak bersalah(presumption of innocence).
COMMENTS